Belajar Sholat Mirip Belajar Matematika
Seperti biasa, tiap hari Jum’at, umat
Islam laki-laki di seluruh dunia menunaikan sholat Jum’at. Tak
ketinggalan, saya pun melakukannya.
Bila waktu sholat Jum’at sudah mendekat,
segeralah datangi Masjid untuk menunaikannya, lebih baik bila datang
sebelum Khotib naik mimbar. Itulah nasihat para guru agama yang selalu
saya ingat sedari kecil dulu. Nasihat lebih lanjut, konon, bila datang
dan menempati shaf pertama, maka akan diganjar dengan pahala yang
berlipat ganda–ini diibaratkan dengan mendapat pahala sebesar unta atau
sapi; bila menempati shaf-shaf belakang, paling pahalanya sebesar ayam
atau telurnya saja.
Nasihat tadi, berusaha selalu saya
jalankan. Seperti hal yang saya lakukan pada sholat Jum’at yang lalu:
Sholat Jum’at yang saya tunaikan di salah satu Masjid di negeri Belanda,
sebuah masjid yang dikelola umat Islam, yang umumnya, keturunan bangsa
Maroko.
Tidak seperti biasanya, setelah sholat
Tahiyatul Masjid (sholat untuk menghormati Masjid), perhatian saya
tertuju pada seorang bapak yang baru datang dan membawa anak lelaki
kecilnya, yang berumur sekitar 3 atau 4 tahun. Saya perhatikan dua orang
bapak-anak tersebut. Sang bapak segera menunaikan sholat Tahiyatul
Masjid, sedangkan sang anak menirukan gerakan sang bapak sambil
celingak-celinguk kiri-kanan, serta belakang. Sang anak yang merasa
diperhatikan, tersenyum ke arah saya. Saya pun tersenyum padanya. Yang
menarik dilakukan sang anak adalah saat sang bapak sujud, dia tak ikut
gerakan, tapi dia merangkul leher sang bapak dari belakang, gendong di
atas punggungnya.
Kejadian bapak-anak tadi mengingatkan
masa kecil saya, saat usia sekitar 4 atau 5 tahun. Bila waktu sholat
tiba, saya selalu menunggu ibu menunaikan sholat. Yang paling asyik
adalah, saat ibu sujud, saya segera gendong di punggungnya. Makin banyak
rakaat, makin sering gendongnya, asyik dan menyenangkan rasanya,
seperti terbang layaknya Superman. Hingga, secara tak langsung saya pun
hafal banyaknya rakaat di tiap waktu sholat, sebelum saya sendiri tahu
dan mengerti tata cara melakukanya.
***
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kisah sederhana tadi?
Untuk kisah bapak-anak yang mirip kisah
masa kecil saya tadi, setidaknya ada satu pelajaran penting yang dapat
kita petik. Dalam pandangan awam saya, sang bapak sedang mengenalkan dan
mengajari anak tentang sholat.
Mungkin, bagi Anda yang berpikir kritis
ala barat akan mempertanyakan cara tersebut: untuk apa mengajari anak
prosedur melakukan sholat padahal anak-anak tidak atau belum mengerti
mengapa hal itu dilakukan? Tidakkah lebih baik memberi pengertian dan
pemahaman lebih dulu, baru mempraktikan sholat? Bukankah melakukan
sesuatu itu akan lebih baik bila dilandasi pemahaman terlebih dahulu?
Setidaknya, jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah seperti berikut. Walau sang anak
diperkirakan belum mengerti apa-apa, dengan cara mengajaknya ke Masjid
dan mempraktikan cara melakukan sholat, maka hal ini diharapkan akan
membiasakan anak untuk melakukannya. Sehingga saat sang anak sudah
berkewajiban melakukan sholat, dan dibarengi dengan pengetahuan dan
pemahaman tentang sholat tentunya, sudah tidak canggung dan tidak berat
lagi untuk melakukannya.
***
Lantas, apa miripnya dengan belajar matematika?
Pendidikan matematika, khususnya untuk
matematika sekolah di negeri kita, dipandang sangat memprihatinkan
karena prestasi belajar siswa dipandang kurang baik–walaupun tiap tahun
hasil ujian nasional menggambarkan hasil yang sangat memukau.
Salah satu kritik terhadap prestasi yang
tidak menggembirakan itu, konon, diakibatkan oleh proses pembelajaran
matematika sekolah yang bersifat prosedural nan algoritmik. Yakni, suatu
proses pembelajaran yang menitikberatkan pada prosedur, hafal cara dan
rumus, namun kurang menekankan pada pemahaman konsep matematika. Hal ini
berakibat pemahaman siswa rendah terhadap matematika–siswa hanya hafal
rumus atau cara untuk mengerjakan soal yang sudah diajarkan saja, tapi
kebingungan dan tak sanggup memecahkan soal manakala soalnya berbeda,
sehingga dapat diduga, hasil belajarpun jadi rendah.
Benarkah kritik tersebut? Benarkah cara
prosedural nan algoritmik berakibat buruk terhadap prestasi belajar
siswa? Apakah benar pembelajaran yang menitikberatkan pada pemahaman
terlebih dahulu ketimbang prosedur akan lebih baik dilihat dari hasil
belajar siswanya kelak?
Berkaca dari kisah bapak-anak, maka saya
berpandangan, proses pembelajaran yang bersifat prosedural nan
algoritmik tidaklah selalu buruk, tidak mesti serta-merta ditinggalkan
begitu saja. Agar lebih baik, ketika proses membelajarkan secara
prosedural nan algoritmik, perlahan siswa diberi pemahaman dan
pengertian secara konseptual. Sehingga, diharapkan, terjadi keseimbangan
antara prosedural skill dan pemahaman konseptual. Ibarat cara
mengajarkan sholat pada anak-anak, dimulai dari praktik, lalu sedikit
demi sedikit diberi pemahaman. Setuju?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar